CISSReC: Kesadaran terhadap Ancaman Siber Perlu Ditingkatkan

Jakarta, PCplus. Memasuki akhir tahun 2017, Indonesia masih dihadapkan pada tantangan serius di wilayah siber (cyber). Diperlukan konsep yang tepat sehingga kehidupan siber yang ber-Pancasila di tanah air bisa diwujudkan. Apalagi saat ini begitu banyak berita yang tidak jelas kebenaranya dan cenderung mendorong masyarakat dalam perpecahan.

Dalam paparannya belum lama ini, Pratama Persadha (pakar keamanan siber) menjelaskan bahwa diperlukan aturan dan teladan dalam kehidupan siber di tanah air. Pemerintah bisa memberikan aturan yang jelas. Sementara masyarakat bisa secara sendiri ataupun bersama-sama membangun konten positif.

“Dalam kehidupan siber bernafaskan Pancasila, kita punya tujuan tidak hanya berkehidupan yang aman dan damai. Lebih dari itu lewat teknologi dan wilayah siber kita bisa meningkatkan daya saing sekaligus kesejahteraan masyarakat,” jelas Chairman lembaga riset keamanan siber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) ini.

Hal ini diungkapkannya dalam Seminar Nasional bertajuk “Sains dan Teknologi Pancasila untuk Keagungan Bangsa”, di Rektorat Universitas Negeri Yogyakarta belum lama ini. Pada seminar tersebut hadir pula sebagai pembicara Sri Sultan Hamengkubuwono X, Rektor UNY Sutrisna Wibawa dan pendiri Lippo Group Mochtar Riady.

Terkait visi Yogyakarta menjadi Cyber Province 2019, Pratama menegaskan bahwa, media sosial dapat menjadi pintu masuk informasi paling utama yang dapat menjadi sarana promosi murah, cepat, dan tepat sasaran.

Namun demikian, dia mengingatkan bahwa keamanan data dan informasi digital harus menjadi prioritas penting. “Mengingat pada 2015, jumlah kasus kejahatan siber di Indonesia meningkat signifikan hingga 389% dari tahun 2014,” lanjut Pratama, mengutip data dari Microsoft Indonesia.

Pratama menambahkan bahwa Pemerintah RI dan masyarakat seringkali abai terhadap bahaya ancaman siber ini. Pemerintah seringkali mampu membangun teknologi sistem siber yang andal dan terkoneksi dengan standar enterprise, namun acap kali alpa terhadap pengamanannya.

“Padahal semakin banyak sistem siber yang terkoneksi maka semakin rentan terdampak serangan jika tak disiapkan pengamanan yang memadai,” tegasnya.

Hal yang sama terjadi di level masyarakat. Pratama mengutip Survei Kaspersky yang menunjukan bahwa sebanyak 58 persen masyarakat Indonesia tak percaya mereka menjadi target serangan siber. Hasil ini dikuatkan hasil survei lembaga keamanan CISSReC yang mencatat bahwa sebanyak 67 persen masyarakat di 10 kota besar tanah air tidak mengindahkan imbauan Kominfo saat terjadi serangan Wannacry beberapa saat lalu.

“Menjadi PR kita untuk bersama-sama meningkatkan kesadaran soal keamanan siber ini,” terang pria asal Cepu Jawa Tengah ini.

Menindaklanjuti hal itu, Pratama menambahkan bahwa ada tiga hal yang perlu diperhatikan terkait pengamanan siber ini. Pertama, penguatan SDM baik di pemerintahan maupun di masyarakat. Kedua, penguatan infrastruktur siber. Dan terakhir, peningkatan standar keamanan siber di semua sektor.

“Yogyakarta sendiri bisa menjadi contoh kehidupan siber ber-Pancasila dengan pemanfaatan wilayah siber oleh pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat dengan optimal. Namun, tidak lupa juga diikuti oleh keamanan siber yang mumpuni menyertai pemanfaatan kemajuan teknologi tersebut,” tandasnya.

CISSReC menyatakan bahwa Sri Sultan dalam kesempatan tersebut menekankan pentingnya pemerintah mengkonsolidasikan teknologi siber untuk mendorong kesejahteraan rakyat. Sementara Rektor UNY mengungkapkan berbagai aspek etis dalam penggunaan teknologi siber. Terakhir, Mochtar Riady mengungkapkan berbagai pengalaman interaksi dan pendalamannya dalam penggunaan teknologi informasi.

Exit mobile version