
JAKARTA, PCplus – “Sebagus mana sebuah sistem, pasti ada bolongnya. Contohnya Amazon, kena (serangan) Heartbleed juga,” kata Erwin Kuncoro (Chief Executive Office, Virtus Technology Indonesia) mengawali seminar sehari Virtus Security Day 2014 di Jakarta tadi pagi (13/5/2014). Hari itu Virtus mengundang para pelanggan dan calon pelanggannya untuk berdiskusi dan memperoleh update tentang tren keamanan Internet dan strategi terbaik untuk menangkal ancaman informasi saat ini dan di masa depan.
Ini adalah tahun kedua penyelenggaraan Virtus Security Day. Dikatakan oleh Erwin, tahun ini Virtus berusaha memberikan insight-insight dan tools bagi para peserta dengan harapan dapat menghadirkan referensi strategi keamanan TI yang sesuai dengan kebutuhan organisasi masing-masing.
Ancaman, kata Henry Wirajaya dari Check Point, sudah menjadi komoditas saat ini. Sebab membuatnya mudah, karena perangkatnya tersedia untuk dibeli. “Cukup beli tools,
misalnya untuk ancaman zero day. Untuk Adobe Reader harganya US$ 5000, paling murah. Kalau zero day untuk iOS paling mahal, US$ 100 ribu, karena itu Apple jarang diserang (dibandingkan yang lain),” jelas Henry.
Karena itulah, kata perusahaan sebenarnya kini membutuhkan sekuriti yang modular, aman dan gesit. “Kebanyakan perusahaan memang sudah menggunakan firewall, tapi perlu juga mengenali ancaman melalui threat intelligence,” kata Henry.
Henry lalu menjelaskan konsep software-defined protection (SDP) yang diajukan oleh Check Point. SDP, jelas Henry, merupakan cetak biru, best practice untuk sekuriti. Ini adalah arsitektur keamanan untuk menghadapi berbagai ancaman saat ini dan masa depan, yang sederhana, fleksibel dan merupakan perlindungan real-time.
Check Point, kata Henry, mengategorikan sekuriti dalam tiga layer, yakni enforcement (penegakan), kontrol dan manajemen. Enforcement pada dasarnya melakukan inspeksi, dan kontrol menggunakan segmentasi, Sementara manajemen punya tiga sifat, yakni modularias, otomasi dan visibilitas.
“Segmentasi ini adalah perimeter baru. Pisah-pisahkan berdasarkan fungsi dan kebijakan. Lalu lakukan group segment, baru konsolidasi,” urai Henry. Perusahaan juga perlu mengenali ancaman yang perlu dicegah, kata Henry.