JAKARTA, PCplus – Para pembantu rumah tangga (PRT) ternyata bisa memainkan peran penting dalam menunjang keberhasilan LTE (long term evolution), populer dengan sebutan 4G LTE. Paling tidak ini terjadi Hongkong. Di negara yang merupakan bagian dari Republik Rakyat Cina itu, para PRT asal Filipina menjadi pengguna LTE yang memberikan ARPU (average revenue per user – pendapatan rata-rata per pengguna) terbesar. Begitu menurut riset internal NSN yang dilakukan pada kuartal 3, 2013.
Tingginya pemakaian LTE oleh kalangan PRT asal Filipina di Hongkong, jelas Claudio Frascoli (Senior Strategic Marketing Manager, NSN) dalam Media Briefing di Jakarta (12/3/2014), antara lain karena mereka memakainya tidak hanya untuk berkomunikasi, tapi juga mencari hiburan secara online. Maklum kamar yang disediakan para indung semang para PRT ini tidak dilengkapi TV maupun DSL.
Karena itulah, NSN menyarankan para operator untuk jeli dalam mencari pendapatan dari layanan OTT (over the top) dan juga menciptakan perbedaan merek. Tergantung target, operator bisa memilih akan menguatkan layanan voice, messaging, media atau cloud atau kombinasinya. “Sesuaikan untuk setiap kategori, pasar, dan konteks,” saran Frascoli. “Lebih banyak data seharusnya selalu berarti lebih banyak pemasukan,” tambahnya.
Target jangka panjang dan jangka pendek harus ditetapkan. Frascoli lalu mengutipkan data Informa Telecoms & Media yang men-sampling 120 operator. Untuk jangka pendek misalnya, 40% operator berniat meningkatkan kemampuan data warehousing/analytic yang ada. Sedangkan untuk jangka panjang, 50% responden mau tampil berbeda dari kompetitor, dan 68% akan membuat peluang bisnis baru melalui produk baru maupun menjual data ke pihak ketiga.
LTE sendiri sudah banyak diimplementasikan di banyak negara. Standar untuk komunikasi nirkabel data kecepatan tinggi di ponsel dan terminal data yang berbasis teknologi GSM/EDGE dan UMTS/HSPA ini antara lain ditawarkan oleh operator Orange (Switzerland), T-Mobile (AS), Vodafone (Selandia Baru, Jerman), Telecom (Italia), Telia (Swedia), LG, KT, SKT (Korea), Telstra (Australia), dan Etisalat (Emirat Arab).
Kesuksesan penerus 3G, kata Frascoli, ternyata tidak ditentukan oleh lamanya waktu layanan tersebut ditawarkan. Mengambil data riset internal kuartal 4, 2013, Frascoli mencontohkan Telia (Swedia). Hanya 61% dari total pelanggan Telia memanfaatkan LTE. Padahal operator ini menawarkan LTE sejak kuartal 2 tahun 2012. Operator Vodafone di Jerman yang sudah beroperasi 36 bulan pun cuma berhasil menggaet 66% dari total penggunanya.
Sementara T-Mobile mencapai coverage yang sama, 66%, dalam waktu sekitar 12 bulan saja. Kurun waktu yang sama, sekitar 12 bulan, membuahkan coverage 40% bagi Vodafone di Selandia Baru. Sedangkan Etisalat yang mengoperasikan LTE sekitar 12 bulan bahkan hanya menggaet 6% dari total pengguna layanannya.
Akan tetapi LG, KT, SKT (Korea) dan Telstra (Australia) yang mengoperasikan LTE sekitar 24 bulan dapat merangkul 99% penggunanya untuk memakai LTE.
Tingkat popularitas LTE, kata Frascoli, juga tergantung pada tersedianya layanan itu sebagai bagian dari data plan. Segelintir operator yang menawarkan LTE sebagai produk premium justru berujung pada kurang populernya LTE. Untuk menilai tingkat kepuasan penggunaan LTE di kalangan konsumen, Frascoli menyarankan operator untuk menggunakan Net Promoter Score (NPS).
Khusus untuk para operator di Asia yang tingkat ARPU-nya rendah dan konsumennya sering berpindah operator, Frascoli menyarankan operator untuk memuaskan konsumen melalui layanan berkualitas tinggi dan membangun sinergi demi efisiensi dan menciptakan pendapatan baru. Kerjasama dengan pihak jasa keuangan seperti Mastercard untuk menyediakan layanan pembayaran mobile, seperti yang dijalankan operator mobile di Inggris, mungkin bisa menjadi contoh.