JAKARTA, RABU – Selamat pagi para perempuan Indonesia!
Hari ini, 21 April, adalah hari Kartini. Kartini adalah pejuang emansipasi bagi kaum perempuan. Ia memperjuangkan kesetaraan bagi kaumnya. Namun benarkah emansipasi sudah diterapkan dengan baik di Indonesia?
Kalau kita tilik posisi-posisi puncak – di perusahaan negara, swasta sampai di pemerintahan – baru segelintir yang ditempati oleh kaum perempuan. Apakah ini karena kaum perempuan memang belum mampu duduk dan memimpin perusahaan atau negara? Atau karena stigma dianggap belum mampu sehingga tidak diberi kesempatan?
Perlukah aturan resmi atau bahkan undang-undang seperti di Uni Eropa yang menyebutkan bahwa pada tahun 2015 harus ada satu wanita duduk di dewan direksi perusahaan (board of director)? Di Indonesia, aturan serupa — yang mengatur porsi perempuan di dewan legislatif — sudah ada. Namun di perusahaan belum ada aturan seperti itu.
“Tidak perlu kecil hati (karena) jumlah eksekutif (perempuan) lebih sedikit,” kata Herfini Haryono. Di Nokia Siemens Networks pun, tuturnya, tidak ada perempuan yang duduk di dewan direksi. Yang ada justru di Huawei. “Huawei bahkan punya dana untuk pengembangan wanita.”
Herfini Haryono adalah salah satu contoh perempuan Indonesia yang mampu duduk di jajaran puncak sebuah perusahaan telekomunikasi ternama. Perempuan berusia 42 tahun itu kini menjabat posisi Director of Planning and Development di Telkomsel. Tahun lalu, Herfini memperoleh penghargaan CIO of the Year atas inovasinya dalam mengembangkan teknologi informasi.
“Beruntung kita jadi wanita sebenarnya,” ujar Inge Halim yang setelah 27 tahun berkarier di IBM kini memegang jabatan Volume Business Executive se-Asia-Pasifik di IBM. “Selain multitasking, (perempuan) punya detail, indera keenam, dan pantang menyerah,” tutur Inge tentang sifat-sifat perempuan. Menurut perempuan yang bermotto “Make a difference” ini, penghalang kemajuan terletak pada sifat orang Indonesia.
“Orang Indonesia cenderung rendah diri. (Padahal) Yang bagus itu low profile, rendah hati, bukan rendah diri,” ucap Inge yang menjadi satu dari tiga narasumber dalam acara Women Leaders Conference and Discussion di Jakarta awal April lalu di Jakarta itu. Kaum perempuan di Malaysia, Indonesia dan Thailand, menurutnya, suka minder.
“Di indonesia, perempuannya kurang karena budayanya patriach. Yang diutamakan adalah yang pria. Sebagai kaum perempuan, harus punya keberanian untuk ‘change yourself’,” urai Martha Tilaar, pendiri bisnis kosmetika dan jamu tradisional Martha Tilaar, di acara yang sama.
“Kita harus jadi manusia DJITU. D – disiplin di segala hal: waktu, uang, jangan molor, jangan cengeng. J – jujur. Semua orang akan percaya padamu asal kamu jujur. Kalau kita tidak jujur, susah. I – iman. Karena itu ada balans jasmani dan rohani. Juga inovatif, jangan me too product. T – tekun, fokus. Jangan semua mau mau. Hard work dan committed. Semua bisa jika ikut DJITU dengan change yourself,” pesan Martha yang sudah berusia 72 tahun tetapi masih sangat aktif itu.
Namun Martha Tilaar, Herfini Haryono dan Inge Halim mengingatkan bahwa dukungan keluarga sangat penting dalam mendukung kemajuan karier. “Yang mendorong untuk selalu maju selalu adalah keluarga. Based on family,” kata Martha.
“Tanpa pria kita juga tidak apa-apa loh,” wanti-wanti Inge yang mendapat restu suami saat dipromosikan ke jabatan yang berlokasi di Singapura pada tahun 1999 dan memutuskan untuk ikut memboyong seluruh keluarganya ke Singapura. Ia menekankan agar kaum perempuan jangan takut. “Kalau ada sesuatu, ungkapkan saja. Belum tentu yang kita punya itu tidak baik,” sarannya.
“Yang penting beri yang terbaik. Apa pun yang bersinar tidak akan tersembunyi di korporat,” tegas Herfini.