JAKARTA, SELASA – Di era serba internet ini, ledakan data tak terhindarkan lagi. Celakanya, 56% chief marketing officer (CMO) di negara Asean justru tidak siap menghadapinya. Sejumlah 65% di antara mereka juga gamang berhadapan dengan jejaring sosial yang dengan cepat bisa memengaruhi pendapat banyak orang. Ketidaksiapan 48% CMO pun makin parah di tengah beraneka ragamnya perangkat dan channel yang tersedia, juga cepatnya demografis pelanggan berubah (52%).
Begitu ungkap Charles Kamau Njendu (Senior Engagement Manager, Strategy & Transformation, IBM Singapore) dalam temu media di Jakarta (22/3/2012) yang membahas Survei IBM bertajuk 2011 Global CMO Study. Survei ini baru pertama kalinya digelar IBM. Sebagai responden terjaring 1700 CMO dari 64 negara dengan latar belakang 19 industri. Empat persen dari responden tersebut berasal dari kawasan Asean, dan kurang dari 10 orang merupakan CMO dari Indonesia.
Hasil survei IBM mengungkap, 70% CMO Asean memerkirakan perusahaannya akan menghadapi kerumitan yang tinggi atau sangat tinggi dalam tempo 3 – 5 tahun mendatang. Namun hanya 40% yang siap menghadapinya.
“Bagi CMO, pasar bukan lagi individual, tetapi masih merupakan strateginya. Karena itu dibutuhkan perubahan untuk menghadapi ledakan data. Caranya dengan berinvestasi dalam teknologi, mengintegrasikan wawasan, memahami analitika, dan memikirkan ulang paduan keterampilan,” kata Charles.
“Sekitar 90% informasi real-time yang tercipta saat ini adalah data tidak terstruktur. Para CMO yang bisa memanfaatkan sumber wawasan baru ini akan memiliki posisi yang baik untuk meningkatkan pendapatan, merancang ulang hubungan pelanggan mereka dan membangun nilai-nilai merek mereka,” tandas Charles.
Charles juga mengatakan, sebenarnya 83% CMO di Asean sudah punya rencana untuk memanfaatkan teknologi, yakni menggunakan jejaring sosial. Sayang mereka tak tahu kapan itu bisa diterapkan. Kok begitu? “Sebab chief financial officer dan chief information officer tidak punya pemahaman yang sama,” jelas Charles.
Jadi apa rekomendasi IBM bagi para CMO di Asean? Ada tiga. Pertama, mengantarkan manfaat untuk memberdayakan pelanggan. “Bisa dimulai dengan bertanya bagaimana melengkapi orang pemasaran, program dan proses untuk memahami individual dan bukan hanya pasarnya,” kata Charles.
Menurut Charles, mayoritas CMO masih terikat dengan pendekatan abad ke-20, terfokus pada sumber informasi trandisional seperti riset pemasaran, tolak ukur kompetitif, dan analisis kampanye penjualan. Sayangnya sumber tersebut hanya menggambarkan pelanggan secara agregat. Mayoritas CMO (70%) memang sudah menggunakan analitik pelanggan untuk menggali data, tapi hanya 29% yang melacak blog untuk membantu menetapkan strategi pemasaran dengan alasan proses dan ukuran yang dipakai tidak dirancang untuk mengevaluasi data tidak terstruktur.
Rekomendasi kedua IBM bagi CMO adalah meningkatkan loyalitas pelanggan. “Usahakan untuk berhubungan jangka panjang dengan mereka,” saran Charles. Saat ini, kata Charles, CMO masih fokus pada transaksi, bukan pada data untuk melanggengkan hubungan dengan pelanggan.
Rekomendasi ketiga adalah menuai manfaat dan mengukur hasil. Diutarakan Charles, 59% CMO yakin bahwa di tahun 2015 ROI (return of investment) akan menjadi ukuran utama keberhasilan mereka. “CMO harus memperkuat pengaruhnya di 4P: promotion, product, place and price demi keberhasilan perusahaan. Untuk mendapatkan pengaruh, CMO harus mengenalkan keterampilan baru di paduan pemasaran, dan banyak (CMO) yang berniat meng-outsource. CMO juga dapat memerluas pengaruh pribadinya dengan bergeser ke kemampuan-kemampuan baru yang fokus pada teknologi, jejaring sosial dan ROI,” urai Charles.