
Bagi penyandang tunanetra, huruf braille menjadi solusi bagi mereka untuk membaca dengan menggunakan jenis tulisan sentuh. Huruf braille diciptakan oleh Louis Braille asal Perancis saat berusia 15 tahun yang ketika itu mengalami kebutaan. Diperkenalkan sejak tahun 1837, kini huruf braille menjadi metode standar bagi penyandang tunanetra di seluruh dunia. Pada tahun 1991 mulai diperkenalkan printer yang mampu mencetak huruf braille. Salah satu kendala dari printer braille adalah harganya yang mahal. Dan pada tahun 2014 lalu, seorang anak usia 13 tahun berupaya mematahkan hal tersebut dengan menghadirkan Braigo yang merupakan sebuah printer braille dengan harga terjangkau.
Penemu Braigo
Braigo diciptakan oleh seorang remaja kelahiran 29 Oktober 2001 bernama Subham Banerjee. Meski berdarah India, ia lahir di Belgia dan pada usia 4 tahun pindah ke San Jose California bersama kedua orang tua dan seorang adik perempuannya. Ayah Subham yaitu Niloy Banerjee memang bekerja untuk perusahaan prosesor Intel yang sering dipindahtugaskan di berbagai negara. Disini ia bersekolah di Magnolia Sciece Academy dan melanjutkan ke Champion Scholl, San Jose. Dari sinilah ketertarikannya mengenai hal-hal yang berbau science mulai berkembang.
Asal Muasal Braigo
Berawal dari tugas akhir sekolah yang didapatnya, saat itu Subham juga mendapat edaran donasi untuk para penyandang tunanetra. Ia pun bertanya kepada ayahnya bagaimana cara orang buta agar dapat membaca. Niloy yang mengetahui anaknya sangat tertarik dalam hal science hanya menyarankannya untuk mencari informasi tersebut melalui internet.
Setelah melakukan pencarian, Subham tertarik dengan tulisan braille yang dibuat untuk para penderita tunanetra. Namun ia terkejut setelah mengetahui bahwa sebuah perangkat cetak braille yang ada di pasaran ternyata sangat mahal. Sejak itu ia memikirkan alternatif untuk membuat sebuah printer braille yang murah. Berkat kreativitasnya, akhirnya Subham mendapat ide dengan membuat sebuah printer braille yang dibuat dari potongan lego. Subham mendapatkan inspirasi menggunakan lego karena ia sendiri merupakan penggemar mainan lego yang biasa dimainkan bersama adiknya.
Braigo v1.0
Purwa rupa dari printer buatannya diberi nama Braigo dengan versi awal 1.0. Printer ini dibuat menggunakan Lego Mindstorms EV3 yang merupakan lego robotic kit yang bekerja dengan mencetak titik-titik braille di lembaran kertas. Subham pun menambahkan aplikasi pendukung guna menunjang hal tersebut. Dengan kombinasi keduanya, akhirnya Subham berhasil membuat printer braille dan diberi nama Braigo yang merupakan gabungan antara Braille dan Lego. Cara kerja Braigo terbilang sederhana. Pengguna tinggal mengetikkan huruf biasa dari komputer atau notebook, dan nantinya Braigo akan langsung menterjemahkannya ke huruf braille dengan langsung mencetaknya di kertas yang tersedia. Yang menarik, ternyata proyek buatannya ini menelan biaya hanya sebesar US$355. Harga ini jauh lebih murah dibanding printer braille yang dijual di pasaran dengan kisaran harga antara US$2000 – US$10000. Proyek pertama inipun ia pamerkan di sekolahnya dan mendapat respon positif dari teman serta gurunya.
Braigo v2.0
Braigo v1.0 ternyata berhasil memenangkan sejumlah penghargaan dan dukungan dari kalangan tunanetra. Namun ia merasa printer braille ciptaannya masih belum sempurna, karena itu pun berniat mengembangkannya lebih jauh. Saat menggunakan lego, Subham mengatakan bahwa ia tidak takut untuk menghabiskan uang banyak. Ia hanya berpikir bagaimana perangkat ciptaannya ini bisa berguna bagi orang banyak, khususnya tunanetra. Dibantu dengan orang tuanya, ia mendirikan Braigo Labs dengan modal awal US$35.000 dari ayahnya. Braigo Labs sendiri memang didirikan sebagai wadah bagi Subham untuk mengembangkan Braigo agar menjadi perangkat seutuhnya yang bisa dijual di pasar. Tak lama kemudian akhirnya Subham berhasil merampungkan Braigo v2.0 dengan kemampuan yang lebih canggih dan memamerkan karyanya tersebut di ajang Intel Developer Forum 2014.
Dana dari Intel
Terkesan dengan Braigo v2.0, Intel pun mengundang Subham dan mengatakan bahwa mereka berminat untuk berinvestasi di perusahaannya, Braigo Labs. Investasi itu pun secara resmi dilakukan di ajang Intel Capital Global Summit. Jumlah dana yang diinvestasikan memang tidak disebutkan secara rinci namun diperkirakan berjumlah ratusan ribu dolar. Sejak saat itu Subham yang baru berusia 13 tahun menjadi entrepreneur termuda di Amerika Serikat yang pernah mendapatkan bantuan dana dari Intel, setelah sebelumnya Nick D’Aloisio yang saat berusia 17 tahun merupakan entrepreneur termuda dimana aplikasi Summly buatannya dibeli oleh Yahoo! sebesar 30 juta dolar. Karena umurnya yang masih terlalu muda untuk menjadi CEO, saat ini posisi tersebut dipegang oleh ibunya, Malin Banerjee.
Dengan dana tersebut, Braigo Labs kembali merancang ulang purwa rupa Braigo agar lebih menyerupai printer biasa yang lebih portabel dan user friendly. Diantaranya dengan menyewa insinyur profesional dan penasihat guna merancang dan membangun printer braille berdasarkan ide-ide dari Subham.
Hasilnya, Braigo v2.0 dibuat dengan komponen hasil fabrikasi sendiri dan ditenagai oleh chip Intel Edison. Printer ini dilengkap dengan koneksi Wi-Fi dan bluetooth dimana chip-nya terhubung ke web dan pengguna bisa mengetikkan huruf standar dan Braigo akan mengkonversinya ke dalam huruf braille secara cepat. Pada demo yang dilakukannya, printer ini mampu mengkonversi dokumen setebal 160 halaman hanya dalam waktu 35 detik. Braigo v2.0 tidak hanya bisa digunakan pembaca tunanetra untuk mencetak surat saja, tetapi juga untuk label rumah tangga, daftar belanja, dan bahan bacaan singkat di atas kertas braille. Kini, Braigo v2.0 yang telah disempurnakan rencananya akan tersedia pada akhir 2015 atau awal tahun 2016 dengan kisaran harga US$500 dan menjadikannya printer braille termurah.