Kurangi Hoax, CISSReC Imbau Pemerintah Perketat Aturan Pembelian Nomor Seluler
Rekomendasi Produk PCplus
-
GEEKOM Mini PC MiniIT11 Intel Core i7-11390H 16GB DDR4 512GB SSD Win11
Rp6,290,000.00 Beli Sekarang -
Sale!
ASUS ROG FLOW X13 GV301RA – R7RADA6T-O – R7-6800HS – SSD 512GB – 120HZ
Rp18,699,000.00 Buy product -
Sale!
Lenovo ideapad Slim 3i-14ITL6 – HYID i3-1115G4 SSD 256GB Arctic Grey
Rp5,899,000.00 Beli Sekarang -
Telkomsel Orbit Pro Modem WiFi 4G High Speed
Rp1,129,000.00 Beli Sekarang
Di Indonesia, publik baru-baru ini dihebohkan dengan berita penangkapan penyebar hoax, Saracen. Tren hoax sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, namun di seluruh dunia. Bahkan pada pemilu presiden AS 2016 lalu, masyarakat AS dihantam berita hoax bertubu-tubi. Media penyampaian hoax di sleuruh dunia memiliki cara kerja hampir sama, yakni disebarkan lewat media sosial dan instant messaging.
Menurut Pratama Persadha (Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber Communication and Information System Security Research Center/CISSReC), penangkapan kelompok Saracen mengkonfirmasi bahwa ada sekelompok orang yang memang menjadikan isu SARA di media sosial sebagai komoditas.
Sebelumnya pada akhir 2014, tim admin akun twitter TrioMacan yang legendaris dengan berbagai isu berhasil dibekuk dan menjadi salah satu berita yang paling hangat saat itu.
Dalam penjelasannya, Pratama menyatakan bahwa media sosial dan instant messaging seperti WhatsApp menjadi lokasi favorit para penyebar konten hoax. Pasalnya, saat ini pemakainya di tanah air sudah sangat banyak. Pratama menyatakan bahwa pemakai internet di Indonesia sudah mencapai lebih dari 132 juta orang.
Pratama menyatakan bahwa pemakai layanan Google sendiri mencapai lebih dari seratus juta orang. Di luar itu, pemakai Facebook dan WhatsApp sendiri kini sudah mencapai sebanyak lebih dari 80 juta orang. Ini tentu ini menjadi peluang bagi mereka.
“Dengan bantuan teknologi membuat konten hoax ini menjadi sangat cepat dan tepat sasaran. Para pelaku bisa melakukan pengelompokan dengan mudah pada grup WA maupun Grup FB yang mereka buat, dibuat berdasarkan agama, daerah, suku bahkan pengkotakan sesuai sasaran para pelaku ini,” jelas Pratama.
Ditambahkan oleh Pratama, langkah penangkapan oleh Polri sudah bagus dan patut diapresiasi. Namun lebih baik lagi bila pemerintah bisa melakukan langkah preventif dengan menegakkan aturan pembelian nomor seluler baru lebih tegas.
“Di Indonesia setiap orang bisa dengan bebas membeli nomor baru, padahal nomor seluler adalah syarat untuk membuat e-mail dan media sosial, termasuk instant messaging seperti Whatsapp dan Telegram. Ini pintu masuknya, di banyak negara aturan pembelian nomor baru ini disertai identitas, tidak hanya registrasi yang asal-asalan saja,” terang mantan pejabat Lembaga Sandi Negara ini.
Pratama menjelaskan Pemerintah RI seharusnya bisa memberlakukan aturan bahwa pembelian nomor seluler harus diikuti dengan infomasi e-KTP. Ada batas yang jelas untuk pembelian, sehingga setiap nomor aktif yang teregistrasi dengan e-KTP. Menurutnya, langkah ini jelas akan mempersulit para pelaku untuk melakukan “ternak akun”.
“Tanpa keleluasaan untuk [melakukan] ‘ternak akun’, ini jelas akan mempersulit para pemain layanan konten hoax untuk bergerak,” jelas pria asal Cepu Jawa Tengah ini.
Pemerintah RI juga bisa dengan tegas meminta kepada penyedia layanan media sosial untuk melakukan filter konten. Hal yang sama sudah dilakukan Telegram sebagai syarat membuka blokir di Indonesia. Bila masih banyak konten hoax bermunculan di sebuah media sosial, ada baiknya Pemerintah RI memberikan peringatan, agar konten negatif tersebut bisa berangsur berkurang dan hilang.
Terkait pemesan yang dikabarkan berasal dari kalangan politisi, Pratama mengimbau masyarakat menunggu hasil pihak berwajib untuk mengusut lebih lanjut. Ia menyatakan bahwa bila semua hanya didasarkan atas dugaan-dugaan dikhawatirkan hanya akan menambah kisruh di masyarakat.
Namun yang pasti dari keterangan pihak berwajib, Saracen ini memang memanfaatkan kedua pihak agar bisa diadu domba. Mereka memunyai akun untuk memojokkan umat Islam selain juga memunyai akun untuk memojokkan umat beragama lain. Mereka akan mengambil keriuhan media sosial dari isu yang mereka sebar.
Pratama menambahkan bahwa masyarakat kita umumnya baru benar-benar mengenal media sosial langsung dalam genggaman (smartphone) sejak sekitar lima tahun terakhir dan mulai ramai ke ranah politik sejak 2012. Ia menyatakan bahwa satu kelompok akan memiliki tim sendiri, sedangkan kelompok lain pun demikian.
“Beberapa pihak melihat peluang ini, mengapa tidak terus diramaikan saja, meski kontestasi pemilu sudah berakhir. Korbannya jelas masyarakat. Karena itu pemerintah selain bertindak tegas lewat pendekatan hukum oleh aparat, sebaiknya juga menertibkan penjualan nomor seluler, di sana kuncinya,” tegas Pratama.
Pratama menambahkan bahwa masyarakat pun juga sebaiknya mendapatkan edukasi sejak dini. Tujuannya agar mereka bisa menjadi netizen yang baik. Pratama menyatakan juga bahwa Pemerintah RI sebaiknya harus mendorong netizen tanah air agar sibuk menghasilkan konten positif.