Red Hat, Tumbuh Pesat saat Ekonomi Melambat
JAKARTA, PCplus – Ada anomali pada perusahaan software open source enterprise Red Hat. “Di saat ekonomi melambat, Red Hat justru tumbuh pesat. Dan semakin baik ketika ekonomi sudah membaik,” kata Rully Moulany (Country Manager, PT Red Hat Indonesia) dalam bincang-bincang informal di Jakarta (16/12/2015).
Kok bisa begitu? Iya, karena basisnya open source, software Red Hat lebih murah dibandingkan software sejenis yang bersifat proprietary. Dan karena dikembangkan oleh banyak orang, software tersebut juga lebih lincah. Juga lebih efisien dan transparan. Apalagi belakangan produk Red Hat juga tersedia di cloud milik Microsoft, yakni Azure.
Bagaimana di Indonesia? Di Indonesia, Red Hat memiliki kantor penjualan sejak tahun 2014. “Kami tumbuh pesat di Indonesia, dengan customer-customer flagship karena brand dikenal. Berpengaruh di pasar Indonesia,” tutur Rully.
Rully optimis, apa pun kondisi makro ekonomi Indonesia, bisnis Red Hat akan tetap bertumbuh. “Potensi pasar masih sangat besar,” alasannya.
Namun lelaki yang mengawali kariernya di NEC Indonesia itu menolak mengungkap angka pertumbuhan maupun proyeksi target Red Hat di Indonesia. “Pertumbuhan industri software 11 – 12 persen. Red Hat Indonesia jauh di atas itu year on year,” kata Rully.
Kesuksesan Red Hat, kata Rully, dicapai dengan tiga strategi. Pertama adalah berfokus pada sektor vertikal besar, yakni sektor finansial, telekomunikasi, dan publik.
Strategi kedua adalah menggalang ekosistem kemitraan. “Mengembangkan lebih banyak mitra untuk membantu ekspansi, termasuk yang belum tersentuh seperti pasar SMB (small medium business),” kata Rully.
Strategi ketiga adalah meningkatkan popularitas Red Hat di mata masyarakat dengan kerjasama dengan tim media massa.
Di Indonesia, menurut Rully, ada ratusan customer penggguna software Red Hat. “Lebih banyak di enterprise dibandingkan SMB. Top 10 Bank pakai,” ucapnya. Dua pengguna terbesar Red Hat adalah Dirjen Pajak dan Telkomsel.