Jakarta, PCplus. Justin Rosenstein bukanlah programmer biasa. Di awal karir, ketika masih bekerja di Google, ia adalah orang yang mendesain Google Page Creator, Google Drive, dan Gmail Chat. Ketika ia pindah ke Facebook, ia pun dipercaya memegang banyak proyek penting seperti tombol Like.
Karena itulah menjadi menarik ketika dalam sebuah wawancara dengan Guardian, Justin menyatakan ketidaksukaannya terhadap tombol Like. Menurutnya, tombol Like menjadi bagian dari “perangkap” media sosial yang menyita perhatian pengguna. “Ini mungkin salah satu contoh sebuah hal yang bertujuan baik ternyata bisa berakibat buruk,” ungkap Justin.
Tombol Like awalnya memang bertujuan baik. Melalui tombol Like, pengguna bisa langsung berbagi konten yang ia sukai. Tombol Like pun memudahkan Facebook untuk memahami hal-hal yang disukai pengguna. Ketika pengguna banyak menge-Like berita soal MU, misalnya, mudah menyimpulkan kalau orang itu penggemar MU.
Namun dalam perkembangannya, tombol Like kemudian berubah menjadi sarana narsis. Pengguna memburu Like untuk mendapatkan persetujuan sosial dari lingkungannya. Jumlah Like menjadi sinonim dengan besar-kecilnya rasa percaya diri. Bahkan bocoran dari dokumen Facebook menunjukkan, Facebook bisa mengatur notifikasi Like dikirim ketika pengguna sedang kesepian atau butuh dukungan.
Dalam konteks lebih besar, Tombol Like pun menjadi bagian dari kecenderungan dunia sosial yang memerangkap penggunanya. Tanpa banyak disadari, media sosial sebenarnya pelan-pelan membuat pengguna “kecanduan” dan akhirnya tidak bisa lepas dari media sosial.
Perangkap tersebut sebenarnya bisa dilihat dari fitur-fitur sederhana. Sebagai contoh, tahukah kamu jika tanda notifikasi di aplikasi Facebook awalnya berwarna biru? Warna ini dianggap sesuai dengan brand color Facebook dan terlihat lebih elegan. Namun notifikasi berwarna biru ternyata kurang menarik perhatian.
Akhirnya warna tersebut diganti dengan warna merah. Secara psikologis, merah adalah warna yang langsung memicu perilaku manusia (itulah sebabnya warna merah digunakan di papan tanda stop atau tanda bahaya). Terbukti, penggunaan warna merah langsung meningkatkan interaksi dengan tombol notifikasi di Facebook. Kini Facebook dan media sosial lain pun menggunakan warna merah untuk menunjukkan notifikasi.
Contoh lain bagaimana media sosial membuat “perangkap” ke pengguna terbilang banyak. Misalnya Auto Play ke video berikutnya yang ada di Youtube dan Netflix yang dimaksudkan untuk menggoda pengguna melihat video lain. Atau Instagram Stories yang membuat pembuat stories tidak merasa “bersalah” meng-upload banyak foto, dan memaksa orang untuk melihat story tersebut sebelum hilang. Pokoknya, ada banyak langkah yang dilakukan untuk membuat pengguna makin terikat dengan media sosial.
Memang sih, perusahaan media sosial tersebut tidak secara sengaja membuat penggunanya kecanduan. Mereka pada intinya cuma ingin media sosial mereka makin menarik sehingga penggunanya makin betah. Apalagi performa media sosial seringkali dihitung dari seberapa terikatnya pengguna dengan media sosial tersebut.
Namun disadari atau tidak, semua langkah itu menimbulkan rasa ketagihan bagi pengguna. Muncul kebutuhan untuk terus-menerus mengecek media sosial karena ada rasa takut kehilangan momen menarik. Padahal, penelitian University of Chicago menunjukkan, keinginan untuk terus menelan informasi ini sebenarnya menyita kemampuan otak untuk berpikir. Pikiran kita akan terus teralihkan dengan informasi yang bisa diakses semudah usapan jari.
Media sosial juga memudahkan pikiran kita untuk dibajak dan diarahkan ke hal tertentu. Contohnya ketika kamu tidak suka tokoh A, media sosial dengan mudah akan membanjiri timeline kamu dengan berita-berita antitokoh A. Posting orang-orang di timeline kamu pun akan dipenuhi orang-orang yang tidak suka tokoh A, sehingga rasa ketidaksukaan itu bertambah besar.
Seram ya? Tak heran jika Justin kini sangat membatasi penggunaan media sosial. Ia bahkan menugaskan asistennya untuk memasang parental control di iPhone-nya, sehingga Justin tidak bisa seenaknya men-download aplikasi baru.
Nah, bagaimana dengan kamu? Apakah kamu termasuk pengguna yang sudah “terperangkap” media sosial?